Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Inilah maksud dengan pendidikan sebagaimana yang
termaktub dalam Bab I Pasal 1
Ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Indonesia yang memiliki beragam suku, ras, agama dan budaya adalah negara yang memiliki cita- cita besar dalam bidang pendidikan. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita mulia para founding father, yang telah di tuliskan dalam lembaran hukum tertinggi di negara ini. Sejarah 68 tahun kemerdekaan Republik Indonesia ternyata tidak cukup untuk menjadikan bangsa ini merdeka di semua aspek kehidupan. Pendidikan yang merupakan salah satu komponen penting dalam menunjang kesejahteraan dan membentuk manusia Indonesia yang cerdas serta memiliki kualitas moral yang tinggi, seolah-olah di sampingkan dan yang paling parah adalah menjadi alat komersialisme dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Merosotnya moral anak bangsa merupakan salah satu bukti yang menunjukan ketidakseriusan pihak terkait dalam mengelola pendidikan bangsa ini. Pesta MIRAS, Narkoba, balap liar, tawuran antar pelajar, pembunuhan, pemerkosaan dan kasus-kasus lain yang terjadi di Negara ini seolah mejadi tontonan menarik dari para penentu kebijakan bangsa ini. Dengan terjadinya hal seperti ini, semua pihak terkait malah saling menuding dan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Maka jangan heran, rasa benci, iri dan sikap saling menjatuhkan dari para penentu kebijakan negeri ini menjadi tontonan yang layaknya film berseri dan tak tahu akhir ceritanya seperti apa. Pendidikan yang seharusnya memerdekakan banyak orang, kini seolah hanya menjadi cerita dongeng belaka. Tidak bisa di pungkiri bahwa bangsa kita saat ini mengalami krisis kepemimpinan, baik tingkat Nasional maupun tingkat daerah. Di tingkat nasional krisis kepemimpinan tidak hanya nampak pada kepemimpinan seorang Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden, melainkan terlihat dari kinerja lembaga legislatif dan yudikatif, serta para partai politik hasil PEMILU 2009. Tidak jauh berbeda dengan tingkat nasional, krisis kepemimpinan tampak dalam kinerja para kepala daerah yang minim kreatifitas dan terobosan dan sebaliknya justru tersandera berbagai kasus hukum akibat korupsi dan penyalahgunaan dana APBD. PEMILU 2009 memang telah menghasilkan para pemimpin yang memiliki legitimasi politik yang kuat. Namun legitimasi politik ini tidak digunakan dan dikelola secara cerdas untuk kepentingan dan masa depan bangsa kita. Dalam kaitan dengan pendidikan, para pemimpin bangsa ini adalah orang yang cerdas. Namun dalam implementasi sebagai pemimpin, tidak menunjukan kinerja yang cukup baik seperti nama yang didompleng “putra-putri terbaik bangsa”. Hal inilah yang membuat bangsa kita mengalami krisis kepemimpinan. Dalam kaitan dengan hal ini, paling kurang ada enam dimensi krisis kepemimpinan yang bisa diidentifikasi dan tengah melanda bangsa kita dewasa ini.
Ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Indonesia yang memiliki beragam suku, ras, agama dan budaya adalah negara yang memiliki cita- cita besar dalam bidang pendidikan. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita mulia para founding father, yang telah di tuliskan dalam lembaran hukum tertinggi di negara ini. Sejarah 68 tahun kemerdekaan Republik Indonesia ternyata tidak cukup untuk menjadikan bangsa ini merdeka di semua aspek kehidupan. Pendidikan yang merupakan salah satu komponen penting dalam menunjang kesejahteraan dan membentuk manusia Indonesia yang cerdas serta memiliki kualitas moral yang tinggi, seolah-olah di sampingkan dan yang paling parah adalah menjadi alat komersialisme dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Merosotnya moral anak bangsa merupakan salah satu bukti yang menunjukan ketidakseriusan pihak terkait dalam mengelola pendidikan bangsa ini. Pesta MIRAS, Narkoba, balap liar, tawuran antar pelajar, pembunuhan, pemerkosaan dan kasus-kasus lain yang terjadi di Negara ini seolah mejadi tontonan menarik dari para penentu kebijakan bangsa ini. Dengan terjadinya hal seperti ini, semua pihak terkait malah saling menuding dan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Maka jangan heran, rasa benci, iri dan sikap saling menjatuhkan dari para penentu kebijakan negeri ini menjadi tontonan yang layaknya film berseri dan tak tahu akhir ceritanya seperti apa. Pendidikan yang seharusnya memerdekakan banyak orang, kini seolah hanya menjadi cerita dongeng belaka. Tidak bisa di pungkiri bahwa bangsa kita saat ini mengalami krisis kepemimpinan, baik tingkat Nasional maupun tingkat daerah. Di tingkat nasional krisis kepemimpinan tidak hanya nampak pada kepemimpinan seorang Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden, melainkan terlihat dari kinerja lembaga legislatif dan yudikatif, serta para partai politik hasil PEMILU 2009. Tidak jauh berbeda dengan tingkat nasional, krisis kepemimpinan tampak dalam kinerja para kepala daerah yang minim kreatifitas dan terobosan dan sebaliknya justru tersandera berbagai kasus hukum akibat korupsi dan penyalahgunaan dana APBD. PEMILU 2009 memang telah menghasilkan para pemimpin yang memiliki legitimasi politik yang kuat. Namun legitimasi politik ini tidak digunakan dan dikelola secara cerdas untuk kepentingan dan masa depan bangsa kita. Dalam kaitan dengan pendidikan, para pemimpin bangsa ini adalah orang yang cerdas. Namun dalam implementasi sebagai pemimpin, tidak menunjukan kinerja yang cukup baik seperti nama yang didompleng “putra-putri terbaik bangsa”. Hal inilah yang membuat bangsa kita mengalami krisis kepemimpinan. Dalam kaitan dengan hal ini, paling kurang ada enam dimensi krisis kepemimpinan yang bisa diidentifikasi dan tengah melanda bangsa kita dewasa ini.
1. Krisis komitmen etis. Hampir semua pemimpin atau
pejabat publik mengaku memiliki komitmen untuk menata bangsa ini menjadi lebih
baik. Namun semua itu hanya sekedar retorika yang dipidatokan secara berapi-api
dan berulang-ulang di depan publik atau sebagai visi dan misi tertulis yang
didokumentasikan untuk menjadi pengantar tidur saja.
2. Krisis keteladanan. Di zaman ini, tidak banyak
pemimpin yang layak untuk diteladani. Kalau pun ada yang diteladani oleh
masyarakat, yang dicontoh akhirnya perilaku buruk para pemimpin, termasuk
korupsi dan pemaksaan kehendak yang berujung pada tindakan kekerasan dan anarki
massa atas nama berbagai identitas asal seperti agama, etnik, daerah dan bahkan
desa/kampung.
3. Krisis kecerdasan dan kreatifitas. Ketika para
pemimpin Negara lain di dunia mencari kiat dan kreatifitas baru mengatasi
krisis pangan dan energy, para pemimpin bangsa kita sibuk sendiri mencari cara
baru untuk merebut atau menyelamatkan kekuasaan mereka. Kadang karena tidak
memiliki kecerdasan dan kreatifitas, para pemimpin kita melakukan berbagai cara
termasuk membiarkan sumber daya alam yang boleh dikelola sendiri menjadi lahan
bajakan para investor asing.
4. Krisis kapasitas manajerial. Ketidakcakapan
berdampak pada salah urus Negara dan pemerintahan yang hamper tak pernah
berhenti. PEMILU menghasilkan para pemimpin baru denga legitimasi politik yang
baru pula, tetapi kinerja dan tata kelola pemerintahan tetap, bahkan tidak
mengalami peningkatan yang signifikan.pertemuan-pertemuan sering dilakukan
namun tak ada keputusan yang melahirkan terobosan baru dalm mempercepat
penyelesaian aneka persoalan bangsa.
5. Krisis tanggung jawab. Para pemimpin seringkali
melempar tanggung jawab. Lebih buruk lagi, acapkali sebagian pemimpin lari dari
tanggung jawab mereka sebagai pejabat publik.
6. Krisis kewibawaan. Pengakuan pemerintah bahwa hanya
50 persen instruksi presiden yang berjalan merupakan indikasi paling jelas
bahwa presiden kita tidak memiliki kewibawaan di mata para menteri cabinet dan
bawahannya. Bagaimana kita bisa membayangkan pemerintahan ini efektif jika
instruksi presiden saja diabaikan begitu saja oleh para pembantu presiden?
Sunnguh
ironi nasib bangsa kita saat ini, semua dimensi krisis kepemimpinan di atas
berawal beberapa pemimpin yang tidak matang bahkan sama sekali tidak memperoleh
pendidikan yang sesuai dengan tugasnya saat ini. Kadang hanya karena nama besar
dalam dunia entertainment dan mencalonkan diri untuk menjadi seorang pemimpin.
Jika bangsa kita ingin lebih maju, maka yang harus kita lakukan adalah
memperkuat ketahanan Negara khususnya dalam bidang pendidikan.
Tomohon,
10 April 2013
Kepustakaan
:
1.
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
2.
Syamsuddin Haris : Krisis Kepemimpinan Politik,
Demikrasi dan Tantangan 2014
3.
Dr. Bert A. Supit :
Aktualisasi visi dan falsafah “Sumekolah” dan “Si Tou Timou Tumou Tou”
Dr. GSSJ. Ratulangi. Dalam mengatasi krisis Pendidikan sumber daya manusia
Minahasa/Indonesia
oleh
Theo Ch. Merentek
Theo Ch. Merentek
Mahasiswa semester VII Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan UKI-Tomohon